Bersembunyi di balik jargon

Sudah tak perlu diperdebatkan lagi, jik generasi kita kini tengah mengalami degradasi moral, begitu juga kepribadian dan akhlak mereka. Jadi, tak bisa dipungkiri jika SDM sekolah dan pesantren juga mengalami dekadensi. Hal itu, disebabkan oleh keseriusan dan himmah belajar para pemuda bisa dikatakan hampir punah. Parahnya, mereka tidak merasa dan tidak mau mengakui atas penurunan moral yang mereka alami.

               Mari kita perhatikan seksama, ketika mereka disinggung perihal moral atau kemumpunian keilmuan mereka yang kini sedang mengalami penurunan, pasti mereka mencoba mengelak atas apa yang mereka alami sekarang, melalui jargon-jargon andalan yang sering mereka lontarkan; “tak perloh penter, kop cokop ngelepok” (tidak perlu pintar, cukup lihai berbicara) atau kalau dia sudah disinggung oleh sosok yang mampu dalam segi keilmuannya dan lihai berbicara, mereka langsung melontarkan petuah “papenterreh mon tak endik akhlak, tak agunah” (walaupun cerdas kalau tidak punya akhlaq, tidak berguna). Mirisnya, mereka melontarkan petuah tersebut bukan untuk menasehati akan tetapi untuk menyembunyikan kebodohan mereka atau bahkan menyembunyikan moral serta akhlaq mereka yang mengalami degradasi.

               Sebenarnya, jika kita tela’ah kembali jargon beserta petuah yang mereka lontarkan, memanglah benar. Sebab, walaupun mumpuni keilmuannya akan tetapi tidak bisa menyampaikan apa yang dia ketahui, maka kurang anfa’ bagi orang sekitar mereka. Apalagi jika dia pintar akan tetapi tidak memiliki akhlaq maka ia termasuk orang yang sia-sia ilmunya, sebab masih belum bisa mengamalkan ilmu yang ia miliki.parahnya lagi, jargon-jargon tersebut juga bisa menimbulkan pola piker yabg tidak baik; walaupun kita bermalas-malasan kita bisa disegani asalkan lihai berbicara.

               Oleh karena itu, bagi kalangan pemalas, tidak usah sok bijak,sok lihai berbicara, yang tujuannya Cuma menyembunyikan kebodohan yang mereka alami, sebab kelakuan sehari-harinya cuma nyantai kayak pantai, slow kayak pulau atau tidur sampek tidak merasa jika waktu sehari adalah 24 jam. Kelakuannya bermalas-malasan kok sok bijak, apa gak malu. Jadi, hemat saya kalau masih malas belajar, malas beraktivitas yang anfa’, malas beribadah, apalagi sampai merusak pola pikir siswa dan santri, tidak usah sok bijak bertanggapan bahwa kemumpunian dalam keilmuan tidak penting. Kelakuannya bermalas-malasan kok sok bijak, apa gak @#%&*%. Salam literasi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *