Antara percaya dan tidak, aku mendengarkan dengan seksama Mbah Mikajun, yang sering dipanggil Kakek kramat. Kakek berusia 78 tahun, yang rambutnya sudah memutih, bercerita panjang lebar tentang Bukit teh, di bawah pohon mangga, sore menjelang langit maghrib.
“Ketika malam purnama, di atas bukit teh akan terlihat cahaya terang-benderang.” Begitulah kalimat terakhir yang diceritakan mbah padaku. Temanteman yang ikut mendengar dongengnya, hanya mantuk-mantuk saja. Wajahnya serius. Matanya tajam menyaksikan kakek berbicara.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin, kilahku. Masak ada cahaya di atas Bukit teh. Kalaupun ada cahaya, itu adalah pantulan dari bulan. Ketika purnama benar-benar terang tanpa ada mendung atau awan yang menghadang, bukan hanya Bukit teh, semua benda di alam ini akan ikut bercahaya. Itu pasti. Itulah simpulan yang kupendam sambil mendengarkan dongengnya.
Aku tidak berani intrupsi atau protes pada si mbah. Tidak sopan. Enggak baik. Entar kualat, katanya. Teman-temanku masih belum beranjak dari tempat duduknya, walaupun si mbak sudah selesai mendongeng. Tidak ada yang berani berdiri. Mereka masih terlihat takjub dengan cahaya di atas Bukit teh, cerita si mbah.
“Kalau begitu, cahaya itu bisa kita lihat 1 minggu lagi, Mbah.”
“Kalau purnama tiba.”
“Kita semua boleh melihatnya, Mbah?”
“Jangan. Tidak boleh.”
“Kenapa?”
“Kan kita ingin membuktikan cerita Mbah. Benar-benar ada atau hanya bohongan.”
“Kalian-kalian harus percaya. Harus percaya. Kalau kamu tidak percaya, maka kamu akan kedatangan mimpi itu.”
“Mimpi apa, Mbah?”
“Ya, mimpi ketemu dengan cahaya itu,”
“Wujudnya apa, Mbah?’
“Bisa jadi, bisa berwujud hantu atau sejenisnya.”
“Masak, Mbah.”
“Iya, kalau enggak percaya, nanti malam kamu akan didatangi oleh cahaya itu. Jangan salahkan Mbah kalau kamu nanti sawanen atau ketakutan.”
Teman-teman tiba-tiba diam. Tidak ada yang berani bertanya kembali. Semua saling berpandangan. Ketakutan. Amin menundukan wajah. Yusuf menutup matanya. Irul memegangi kepala. Nadir bersedekap seperti orang kedinginan. Sueb menutup wajahnya dengan kaosnya. Langit berangsur gelap. Daun pohon mangga mulai merunduk. Angin semilir mulai terasa di kulit.
Sejak itulah mulai beredar cerita bahwa Bukit teh angker. Tidak hanya anak-anak, remaja, orang dewasa, sampai orang yang sudah tua pun mulai ketakutan. Biasanya kalau akhir pekan, para pengunjung, wisatawan dari desa terdekat, berdatangan. Ada yang berboncengan bersepeda pancal atau motor, berjalan kaki, maupun rombongan menggunakan mobil pick up. Sekarang Bukit teh benar-benar sunyi senyap. Tidak ada pengunjung lagi.
Aku pun mulai curiga. Ada yang enggak beres dengan dongeng si mbah. Tetapi bagaimana cara membuktikan bahwa Bukit teh itu tidak menakutkan. Bahwa di tempat itu tidak ada cerita khayal seperti yang beredar dari mulut ke mulut.
“Aku harus cari cara untuk membuktikan.”
Seusai pulang sekolah, aku menemui Risky di perpustakaan. Saat si mbah mendongeng, dia tidak ikut. Pikirku, itu adalah langkah yang baik kerena dia tidak tahu secara langsung. Aku akan lebih mudah mempengaruhi dan mengajak dia mendukung dan mencari solusi yang pas untuk menyelamatkan tempat wisata di desaku.
“Terus, apa yang bisa kubantu, Nad?” Risky menjawab dengan terbata-bata setelah aku mengutarakan maksud. Dia kelihatannya bisa diajak untuk mengungkap kebenaran dongeng itu.
“Coba, kita juga ajak Afan. Selain pemberani, dia juga berbadan besar.”
“Kenapa Afan dan apa hubungannya dengan badan besar, Ky?”
“Lo, itu penting.”
“Penting apanya?”
“Sewaktu-waktu, kalau ada ular kelaparan dan ingin memangsa, saat misi kita nanti, kan bisa diumpankan dulu dia. Masak, aku atau kamu?” Risky tertawa terbahak-bahak.
Melihat guyonannya, aku pun tidak bisa membendung. Ikut terpingkal-pingkal juga.
“Trus, kapan aksi kita mulai dijalankan?” tanya Risky, cepat.
“Bagaimana kalau besok malam.”
Risky terlihat berpikir sebentar.
“Setuju.”
“Kalau begitu, kita sekarang temui Afan,”
“Di mana dia?” tanyaku, seraya mencegat ucapan Risky.
“Gampang, pasti di kantin Bang Aziz. Kayak enggak tahu aja.”
Aku dan Risky pun cepat-cepat meninggalkan perpustakaan. Jam di tangan sudah menunjukkan angka 13.00. Angka keramat, menurut banyak orang. Tapi aku tidak pernah menghiraukan. Setiap angka tidak memiliki makna. Apalagi harus dikramatkan. Dosa besar. Yang ada maknanya adalah kebenaran. Kebenaran itulah yang memiliki makna terbaik bahwa Bukit teh bebas dari cerita tahayul. Tidak ada ular jahat yang menjaga. Tidak ada cahaya yang menakutkan di sana.
Bukit teh adalah tujuan wisata yang indah. Menarik. Sayang kalau keindahannya dimatikan oleh cerita-cerita khayal apalagi dibumbu-bumbui dengan sosok ular raksasa kembar atau cahaya menakutkan. Jaraknya 2 km dari rumahku. Bagi sebagian masyarakat, Bukit teh adalah rejeki tak terhingga. Sejak menjadi wisata terkenal, banyak orang yang mengais rejeki sebagai tukang parkir, jualan es, jualan kaos, ojek payung sampai dengan buka warung kecil-kecilan di sekitar tempat wisata.
Kalau sampai cerita si mbah itu bohong maka sama saja dia telah merampas rejeki dari masyarakat di sini. Dan itu tidak bisa didiamkan. Semua masyarakat resah, tetapi mereka tidak berani protes ke si Mbah Mikajun. Apalagi berbondong-bondong melakukan unjuk rasa.
Saya yakin seratus persen, masyarakat dan aparat desa ingin menyampaikan pada si mbah supaya mencabut cerita mistis tentang Bukit teh. Mereka ingin, si mbah meyakinkan pada warga atau para pengunjung yang berkumpul di tempat antrean masuk tentang kebenaran cerita Bukit teh. Bahwa Bukit teh aman bagi pengunjung. Tidak ada cerita aneh-aneh yang berhubungan dengan hantu dan sejenisnya.
Aku, Risky, dan Afan pun mengatur siasat. Strategi. Kami sangat serius walaupun sedikit merinding. Tarikan nafas kami benar-benar tidak teratur. Menggos-menggos. Kami saling bertatapan untuk menenangkan perasaan.
“Apakah kita sudah siap untuk menjalankan misi ini?” ujarku, sambil memandang Risky dan Afan, seksama.
“Sebentar, masih ada yang kurang.”
“Apa lagi, Fan?” cegatku, cepat.
“Saya lupa tidak bawa roti,” jawab Afan, seraya memeriksa isi ranselnya.
“Saya pikir bawa apa? Huu, dasar perut karet. Makan saja dalam pikirannya?
“Itu penting, Nad.”
“Iya-iya. Nanti kamu bisa minta aku.
Di tasku ada roti yang cukup untuk kita bertiga.”
“Ya gitu.” Afan bernafas lega.
“Terima kasih, Nad.”
“Gimana, apakah senter sudah siap di ransel?” Risky memberikan isyarat dua jempol ke arahku.
Kami menenteng ransel coklat dan memulai misi menyelamatkan Bukit teh dari cerita mistis. Udara turun. Dinginnya mulai terasa di kulit. Aku, Risky, dan Afan pun tidak menghiraukannya. Yang ada dalam pikiran kami adalah lakukan misi sebaik-baiknya.
Gelap semakin sempurna. Menyusuri ladang luas sedikit berbukit kecil. Pandangan mata hanya sedepa anak kecil, selanjutnya hanya gelap dan hitam. Kami pun terus melangkah. Mendekati Bukit teh. Bulu kuduk semakin merinding. Berdiri semua. Tiba-tiba, cerita si mbah tentang cahaya dan ular kembar muncul dipikiranku. Aku semakin kedinginan. Merinding. Langkahku semakin pendek-pendek. Risky dan Afan berpegangan erat
. Semakin mendekati tempat sasaran, kejanggalan-kejanggalan mulai tampak. Ada cahaya-cahaya kecil di balik Bukit teh. Kami saling berpandangan sejenak sebelum menghentikan langkah. Kami terus mendekat, bersembunyi di balik semak-semak yang lumayan tinggi.
Keheranan itu muncul kembali ketika banyak orang yang lalu-lalang di sekitar bukit. Ada 5 mobil pengangkut tanah diparkir di dekat pintu masuk. Satu mobil lagi mengisi muatan, tidak jauh dari area parkir.
“Cepat, mobil ini harus segera terisi, setelah itu gantian mobil Dirun harus maju dan seterusnya,” ucap orang yang wajahnya masih belum jelas karena suasana masih gelap gulita. Mereka semuanya terus melakukan aktivitas. Hanya dalam hitungan menit, mobil-mobil sudah terisi dan meninggalkan Bukit teh dengan tertib.
“Mana ularnya, Nad?” tanya Afan, sambil mengarahkan senternya ke arahku.
“Jangan keras-keras kalau bicara. Matikan senter itu, nanti ketahuan mereka,” jawabku, memarahinya. Afan langsung diam dan mematikan senternya.
“Ky, jadi benar kan, cerita si mbah bohong. Tidak ada cahaya maupun ular kembar. Dongeng itu hanya mengada-ada. Bohong semua,” tukasku, mengarahkan pandangan mata ke mobil yang terus meninggalkan area Bukit teh.
“Terus, apa yang harus kita lakukan? Apa kita langsung menyergap mereka atau…?” ujar Risky, antusias.
“Sabar, kalau kita menyergap, kita pasti kalah dan malah mungkin kita yang ditangkap dan diikat.
“Terus?” sergap Risky, cepat.
“Sekarang kita kembali dan lapor ke pak lurah. Kita jelaskan semua kejadian yang kita lihat.”
“Oke.”
“Semoga pak lurah percaya pada kita dan langsung bisa mengambil tindakan.”
Hawa dingin terus menyebar di sekitar bukit. Sesekali angin berseliweran ringan.
Nafas kami sedikit lega. Menemukan akar masalah. Cerita aslinya dari Bukit teh yang meresahkan masyarakat.
Kami melangkah hati-hati, takut kehadiran kami terlihat dan ketahuan mereka. Meninggalkan Bukit teh dengan was-was. Cahaya senter pun kami batasi supaya tidak timbul kecurigaan.
Aku sangat kaget ketika melintas di pertigaan, 200 meter dari rumahku. Ada bendera putih, terikat di tiang listrik, sebelah pos ronda. Ya, bendera putih itulah yang menyebabkan dada naik-turun. Aku menghentikan langkah. Dari arah berlawanan, beberapa orang berjalan sambil berbincang-bincang.
Aku pun mencoba mencari tahu, kira-kira ada apa? Dan, siapa yang meninggal? Tanyaku dalam hati, semakin meninggi.
“Mbah Mikajun, tadi jam dua dini hari meninggal dunia.”
Itulah kalimat yang diucapkan bapak-bapak yang duduk-duduk di dekat pos ronda.
“Apakah si mbah sakit, Pak?” tanyaku, ingin tahu segera.
“Tidak, malah sebelum meninggal, malamnya masih ikut cangkrukan di pos ronda. Dia masih sehat walafiat. Malah sempat cerita tentang ular kembar di Bukit teh,” cerita bapak yeng mengenakan kopiah hitam kumal itu.
“Trus penyebabnya apa, Pak?”
“Anak kecil ingin tahu aja. Sana lekas berangkat sekolah, nanti kamu terlambat,” suruh bapak-bapak itu, ketus. Aku pun tidak mendapatkan jawaban pasti penyebab kematian si mbah dari orang-orang yang berkerumun di dekat rumah si mbah. Mengapa si mbah meninggal dunia dengan cepat.
“Apakah kena serangan jantung?”
“Apakah baru mimpi ketemu cahaya di Bukit teh?”
“Atau malah kalah bertarung dengan ular kembar?”
“Atau mungkin dia termakan dongeng bualannya sendiri?
Pertanyaan demi pertanyaan terus melintas di pikiranku. Terasa tidak pernah berhenti dan terus mengejar, seperti cepatnya dongeng si mbah tentang Bukit teh merebak ke seluruh kampung. Bahkan sekecamatan.
Kematian yang aneh. Misterius. Semua orang tidak percaya bahwa si kakek kramat meninggal dunia. Tutup usia dengan tidak wajar. Aku, Risky, dan Afan, setelah pulang sekolah, menyempatkan takziah ke rumah si mbah. Kami ingin memastikan dan mengetahui penyebab, mengapa si mbah meninggal. Tapi, kami sangat heran dan terkejut, di rumah si mbah tidak ada yang bisa diajak bicara. Ketika kami tanya, mereka memilih diam atau meninggalkan kami. Semua orang diam membisu. Tidak ada yang berani angkat bicara. Bahkan anggota keluarga pun diam seribu bahasa.
Risky terpana. Matanya terbelalak melihat keganjilan. Afan dan aku pun sama. Semua tertunduk. Kematian si mbah menjadi sangat misterius. Teka-teki penyebab kematiannya tiba-tiba menjadi perbincangan hangat sekampung. Menyebar ke segala penjuru.
Di sisi lain, setelah teka-teki kematian si mbah belum terkuak dengan pasti, wisata Bukit teh kembali normal. Cerita cahaya dan ular kembar lama-kelamaan hilang sendiri. Pengunjung kembali berduyun-duyun mendatangi tempat wisata tersebut. Penjual kue, penjaga warung, jualan kaos, ojek payung, sampai petugas parkir dari karang taruna kembali menggeliat. Mereka tersenyum kembali.
Jantung ekonomi kampungku kembali berdetak. Mereka semuanya sumringah. Cerita mistis hilang dan berganti dengan kesan-kesan wisatawan setelah menikmati keindahan Bukit teh. Bukit teh mendadak menjadi perbincangan banyak orang. Kru televisi swasta gencar-gencarnya menyiarkan secara live keindahan Bukit teh. Jamur raksasa. Bukit penuh cahaya keindahan.
Bukit teh bercahaya dan ada ular kembar raksasa yang menjaga. Ah, itu hanya bualan.